siapakah atlet kebanggaan indonesia dari jaman olimpiade 1992 sampai sekarang??
Susi Susanti
Masa
keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara
tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia
peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya,
juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka
sebagai "Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus
melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade
Athena 2004.
Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir
oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan. Dia menjuarai All England
empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang juara yang punya semangat
pantang menyerah ini selalu menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan
Piala Uber. Juga juara dunia (1993) dan puluhan gelar seri grand prix.
Kiprah
Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar
biasa. Dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan
terlihat tanpa emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang
pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat
banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.
Berkat
kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa
Barat, 11 Februari 1971 ini turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika
Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama kalinya dan sampai
sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat
merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari
Indonesia.
Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis.
Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung dan memberinya kebebasan
untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia
pindah dari Tasikmalaya ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di
bangku 2 SMP, ia sudah mulai berpikir untuk serius di dunia
bulutangkis.
Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat.
Enam hari dalam seminggu, Senin - Sabtu dari jam 7 sampai jam 11 pagi,
lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur,
dan pakaian juga ada aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan
memakai sepatu dengan hak tinggi agar kakinya terhindar dari
kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke mal pun hanya bisa dilakukannya
pada hari Minggu. Itu pun jarang karena ia sudah terlalu capek latihan.
Memang
tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi untuk
menjadi juara. Ia akhirnya menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang
perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau santai dan senang-senang
terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis
tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada
hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.
Ketika masih
menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi
para pemain lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih
atau di luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan semangat
pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya berharap
teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata Susi.
Nyatanya,
cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia Audina),
sektor putri bulutangkis Indonesia mandek. Piala Uber semakin jauh dan
puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos ke
Olimpiade Athena 2004.
Susi yang telah mundur mengakui merosotnya
prestasi karena memang kekurangan bibit pemain unggul. "Kita bisa saja
memberi prasayarat pemain untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak
ada bagaimana?" Susi melihat popularitas bulutangkis semakin merosot
sementara proses seleksi melalui kejuaraan antarklub dan daerah semakin
sedikit.
Merasa Sedih
Susi merasa sedih karena olahraga
bulutangkis tidak lagi dipandang antusias oleh masyarakat. Ia mengingat
betapa antusiasnya masyarakat menyambut kejuaraan bulutangkis seperti
All England. Susi melihat hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak
muda masa kini lebih ke hiburan. Belum lagi maraknya kasus
penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan narkotika.
Masyarakat
juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan berita-berita
kekalahan pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu tentu berbeda
dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B Wiranata cs
yang banjir mahkota juara.
Keadaan semakin rumit karena orang
takut serius terjun di dunia olahraga Indonesia karena tidak jelasnya
jaminan akan masa depan. Susi sendiri sudah berniat tidak akan
mengijinkan anaknya terjun ke dunia olahraga mengingat pengalamannya
dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah menjadi juara SEA Games,
Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung.
Selain itu, menjadi
atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya sekolah yang
terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat perhatian dan
dukungan dari pemerintah. Susi sendiri terpaksa mengorbankan sekolah
(hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak halangan sebab ada
pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia
berprestasi namun kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat
pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya.
Ia
berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan
dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan
atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari pemerintah,
bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan
memilih jalur pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan
persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus, hasilnya akan seperti sekarang
ini," ujarnya.
Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat
olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya kesadaran dari keluarga
masing-masing yang ingin anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah
ingin memajukan olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan
membina dari daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil.
Mereka hanya terima jadi saja. Ia beranggapan, semua orangtua saat ini
akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya menjadi atlet.
Susi
mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam
organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu
yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi dan Alan
dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan
sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai
kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari segi organisasi internal,
Susi berharap agar orang-orang yang terlibat di PBSI (Persatuan
Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang yang benar-benar ingin
memajukan perbulutangkisan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Melihat
keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit, Susi
belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage
keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan hadiah seperti bonus,
ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah atau
tabungan. Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak
selamanya berada di atas.
Kedua orang tuanya pun sering berpesan
agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga banyak mendapat
masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan
pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu
sebaik mungkin dan giat berprestasi sebisa mungkin.
Mulai dari Nol
Ketika
berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol lagi.
Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi masih
harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang akan ia jalankan.
Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai jalan untuk
menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan
di sebuah instansi, belajar menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan
Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua menjadi bukti
bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai lagi
dari nol.
Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari
orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi sedikit mereka belajar
menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun,
mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai keyakinan membuat usaha
sendiri.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak,
anak pertama perempuan bernama Lourencia Averina, sedangkan yang kedua
dan ketiga adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus Frederick,
Susi juga ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia
ingin mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.
Oleh
karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama
D&V dari nama kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual
baju-baju dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.
Sebagai
mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi bulutangkis
dari International Badminton Federation (IBF) ‘Hall of Fame’ 2004 ini
tetap peduli dengan dunia yang pernah membesarkannya ini. Bersama
suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992 pula -
ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung pusat
pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain yang
akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia.
yang tak
terlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas
Olimpiade yang pertama bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona
1992) bersama Alan Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan
yang paling mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin
dari Sarwendah (Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.
Taufik Hidayat
Taufik
Hidayat (lahir di Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 1981; umur 29 tahun)
adalah pemain bulu tangkis tunggal putra dari Indonesia yang berasal
dari klub SGS Elektrik Bandung dengan tinggi badan 176 cm.
Putra
pasangan Aris Haris dan Enok Dartilah ini adalah peraih medali emas
untuk Indonesia pada Olimpiade Athena 2004 dengan mengalahkan Seung Mo
Shon dari Korea Selatan di babak final. Pada 21 Agustus 2005, dia
menjadi juara dunia dengan mengalahkan permain peringkat 1 dunia, Lin
Dan di babak final, sehingga menjadi pemain tunggal putra pertama yang
memegang gelar Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis dan Olimpiade pada saat yang
sama. Selain itu, ia juga sedang memegang gelar juara tunggal putra
Asian Games (2002, 2006). Ia tampil di Olimpiade Beijing 2008, namun
langsung kalah di pertandingan pertamanya, melawan Wong Choong Hann di
babak kedua.
Selain itu, dia juga telah enam kali menjuarai Indonesia Terbuka: 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan 2006.
Pengalaman
lainnya antara lain pada Piala Thomas (2000, 2002, 2004, 2006, dan
2008) serta Piala Sudirman (1999, 2001, 2003, dan 2005).
Ia menikahi
Ami Gumelar, putri Agum Gumelar dan Linda Amalia Sari. Mereka telah
dikaruniai seorang putri pada tanggal 3 Agustus 2007, yang kemudian
diberi nama Natarina Alika Hidayat. Kelahiran putrinya ini tepat
beberapa hari sebelum ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk
mengikuti Kejuaraan Dunia. Kemudian mereka telah dikaruniai seorang
putra pada tanggal 11 Juni 2010, yang kemudian diberi nama Nayutama
Prawira Hidayat.[1][2]
Taufik kemudian mundur dari Pelatnas Cipayung
pada 30 Januari 2009. Setelah itu ia menjadi pemain profesional.
Beberapa waktu lalu ia juga menjalin bisnis dengan Yonex dalam
pengadaan alat olahraga.
Lim Swie King
Liem
Swie King, (lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956; umur 54
tahun) adalah seorang pemain bulu tangkis yang dulu selalu menjadi buah
bibir sejak dia mampu menantang Rudy Hartono di final All England tahun
1976 dalam usianya yang ke-20. Kemudian Swie King menjadi pewaris
kejayaan Rudy di kejuaraan paling bergengsi saat itu dengan tiga kali
menjadi juara ditambah empat kali menjadi finalis. Bila ditambah dengan
turnamen "grand prix" yang lain, gelar kemenangan Swie King menjadi
puluhan kali. Swie King juga menyumbang medali emas Asian Games di
Bangkok 1978, dan enam kali membela tim Piala Thomas. Tiga di antaranya
Indonesia menjadi juara.
Mulai bermain bulu tangkis sejak kecil atas
dorongan orangtuanya di kota kelahiran Kudus, Swie King yang lahir 28
Februari 1956 akhirnya masuk ke dalam klub PB Djarum yang banyak
melahirkan para pemain nasional.
Usai menang di Pekan Olahraga
Nasional saat berusia 17 tahun, akhir 1973, Liem Swie King direkrut
masuk pelatnas yang bermarkas di Hall C Senayan. Setelah 15 tahun
berkiprah, Swie King merasa telah cukup dan mengundurkan diri di tahun
1988. Saat aktif sebagai pemain, Liem terkenal dengan pukulan smash
andalannya, berupa jumping smash, yang dijuluki sebagai King Smash.
Liem
Swie King sebenarnya dari marga Oei bukan marga Liem. Pergantian marga
seperti ini pada masa dahulu zaman Hindia Belanda biasa terjadi, pada
masa itu seorang anak dibawah usia ketika memasuki wilayah Hindia
Belanda (Indonesia sekarang) harus ada orang tua yg menyertainya, bila
anak itu tidak beserta orang tua aslinya, maka oleh orang tuanya akan
dititipkan kepada "orang tua" yg lain, "orang tua" ini bisa saja
bermarga sama atau lain dari aslinya.
Ivana Lie
Ivanna Lie Ing Hoa (lahir di Bandung, Jawa Barat, 7 Maret 1960; umur 50 tahun) adalah pemain bulu tangkis Indonesia era 1980-an.
Chris John
Yohannes
Christian John, atau lebih dikenal sebagai Chris John (lahir di
Jakarta, 14 September 1979; umur 31 tahun) adalah seorang petinju
Indonesia. Ia tercatat sebagai petinju Indonesia ketiga yang berhasil
meraih gelar juara dunia, setelah Ellyas Pical dan Nico Thomas.
Rexy Mainaky
Rexy
Ronald Mainaky (lahir di Ternate, Maluku Utara, 9 Maret 1968; umur 42
tahun) adalah mantan pemain bulu tangkis Indonesia. Bersama dengan
Ricky Subagja, Ia merebut medali emas Olimpiade Atlanta 1996. Setelah
pensiun, Ia menjadi pelatih bulu tangkis, dan saat ini menjadi pelatih
di Malaysia.
yayuk basuki
Sri
Rahayu Basuki atau lebih dikenal dengan nama Yayuk Basuki (lahir pada
30 November 1970 di Yogyakarta) adalah pemain tenis dari Indonesia yang
paling terkenal pada tahun 1990-an.
Ia memulai karier profesional
pada tahun 1990. Pada tahun berikutnya, ia menjadi petenis Indonesia
pertama yang menjuarai turnamen profesional. Sepanjang kariernya, Yayuk
berhasil memperoleh enam gelar tunggal Tur WTA dan sembilan gelar dari
ganda. Prestasi terbaiknya dalam turnamen Grand Slam adalah mencapai
babak perempat final Wimbledon pada tahun 1997. Ia pensiun dari karier
profesional pada tahun 2004.
Peringkat tertinggi yang pernah
dicapainya adalah posisi ke-19 untuk bagian tunggal dan ke-9 untuk
bagian ganda. Jumlah uang yang diperolehinya selama karier adalah
US$1.645.049.
Markis Kido/hendra setiawan
Juara olimpiade beijing 2008
Maria Kristin Yulianti
Maria
Kristin Yulianti (lahir di Tuban, Jawa Timur, 2 Juni 1985; umur 25
tahun) adalah pebulu tangkis Indonesia. Ia telah aktif sebagai pemain
bulu tangkis nasional Indonesia sejak tahun 2004. Pada tahun 2008 ia
turut serta membawa tim Piala Uber Indonesia meraih peringkat kedua.
Yulianti merebut medali perunggu bagi Indonesia pada nomor tunggal putri
di Olimpiade Beijing 2008 dengan mengalahkan Lu Lan dari China. Sejak
Saat itu membangkitkan sektor tunggal putri Indonesia di mata dunia
bulu tangkis. Saat Di Japan Open dia mengalahkan Wong Mew Choo dari
Malaysia, dan sebelum akhirnya tumbang ditangan pemain China Lu Lan.
Saat di France Open ia juga tumbang ditangan Lu Lan.
ak pernah
terbayang jika 16 tahun kemudian Maria naik ke podium olimpiade dan
menyaksikan bendera Merah Putih dikibarkan di cabang yang dulu tidak
disukainya itu. Dia memang belum seperti Susi yang berdiri di tengah,
Maria berdiri di tepi dengan perolehan sebuah perunggu. Namun, hasil
itu jauh melampaui perkiraan semua pihak, bahkan dirinya sendiri.
Maria
meraih perunggu setelah memenangi 5 dari 6 pertandingan, 4 dari 5
kemenangannya diraih dengan rubber game atas 4 pemain yang memiliki
peringkat dunia lebih baik dari dirinya, mereka adalah:
• Juliano Schenk
• Tine Rasmussen
• Saina Nehwal
• Lu Lan
Sedangkan
Maria, peringkat ke-21 dunia hanya kalah di semifinal dari Zhang Ning
sang juara bertahan, yang kemudian kembali menjadi juara olimpiade
untuk yang kedua kalinya.
Semua ini bermula di Tuban, sebuah
kabupaten di pantai utara Jawa Timur. Dorongan kuat dari ayahnya, Yuli
Purnomo membuat Maria mulai berlatih bulutangkis dalam usia enam tahun.
Bulu tangkis adalah olahraga kegemaran sang ayah, yang juga melatih
bulutangkis untuk anak-anak. Sebenarnya Maria lebih menyukali voli dari
pada bulutangkis.
Maria ditolak masuk klub Djarum Kudus pada
usia 10 tahun. la meneruskan latihannya di klub JPNN Jember. Dia
mencoba lagi masuk Djarum Kudus dan diterima tahun 1998. Di klub ini,
kecintaannya pada bulu tangkis mulai tumbuh.
Untuk pertama
kalinya, Maria menjadi wakil negara pada ASEAN school 2002 di Malaysia.
Kariernya berlanjut hingga dia dipanggil masuk Pelatnas Cipayung tahun
2002. Belum genap berusia 18 tahun, Maria sudah memperkuat tim Piala
Sudirman Indonesia pada tahun 2003. Setelah itu Maria berkutat di
turnamen level satellite, dengan gelar internasional pertama direbutnya
di Malaysia Satellite 2004.
Kegagalan tim Piala Uber pada
kualifikasi Piala Uber 2006, sempat mengancam posisi Maria di pelatnas.
PBSI memberi ultimatum kepada para pemain putri untuk tampil lebih
baik atau keluar dari pelatnas. Maria menyambut tantangan ini dengan
dua gelar juara turnamen satellite di Singapura dan Surabaya.
Posisinya
sebagai pemain nomor 1 Nasional tak tergeser meski di turnamen level
superseries prestasinya belum beranjak dari 8 besar. Keadaan berubah
setelah kejutan tim Piala UberIndonesia pada putaran final di Istora
Senayan, Jakarta, Mei 2008. Dengan Maria sebagai tunggal pertama,
Indonesia di luar dugaan lolos ke final sebelum menyerah dari juara
bertahan, China. Sukses ini membangkitkan kepercayaan diri pada Maria.
Sebulan
berselang dia mencatat prestasi terbaik di superseries dengan menjadi
runner up Indonesia Open. Dalam perjalanan ke final, Maria mengalahkan
pemain kelahiran China yang peringkatnya jauh lebih tinggi darinya,
Zhang Ning.
Bermodal inilah Maria menatap Olimpiade 2008 dengan
lebih percaya diri. Mengalahkan Schenk pada babak pertama, Maria
semakin yakin setelah menang atas Rasmussen di 16 besar. Kejutan
terbesar Maria dibuatnya pada perebutan tempat ketiga dengan
menundukkan Lu Lan, harapan Cina. Maria pun mengembalikan reputasi
tunggal putri Indonesia yang menunggu 12 tahun untuk kembali meraih
medali dari olimpiade.
Seperti kacang tak lupa akan kulitnya,
Maria mempersembahkan medali perunggu ini bagi Hendrawan, mantan
pelatih tunggal putri dan Marleve Mainaky pelatihnya sekarang.
Dengan
berjalannya waktu, Maria juga mulai menemukan pola permainannya
sendiri. Senjata andalannya, yakni pukulan silang menukik dekat net yang
kerap dikeluarkan setelah menguras tenaga lawan dengan bermain reli
dan menempatkan bola ke sudut-sudut lapangan.
Uniknya,
kemenangan Maria hampir selalu terjadi dalam tiga game, setelah kalah
di game pertama. Petugas media Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) sampai
menjulukinya THE QUEEN OF THREE GAMES.
la juga berharap
keberhasilannya memicu pemain putri lain untuk berprestasi. Dia juga
ingin tunggal putri di Indonesia tak lagi dipandang sebelah .
Pertandingan
yang paling mengesankan baginya adalah Pertandingan di Sudirman Cup
2003, karena pada saat melawan Inggris bisa mengalahkan pemain yang
rankingnya jauh diatasnya dan bisa menyumbangkan point buat regu
Indonesia.
Sedangkan pertandingan paling mengecewakan adalah
pertandingan di Uber Cup 2006, karena selain baru cedera, permainannya
kurang bisa maksimal, membuatnya drop dan tidak bisa mengeluarkan
kemampuannya dengan maksimal.
Maria tetap tampil menawan, meskipun cedera lutut sering menderanya di tengah pertandingan.
Diawal
tahun ini, Maria melewatkan 2 turnamen, karena sedang proses
penyembuhan cederanya. Tapi, Maria sudah masuk dalam pemanggilan PBSI
tahap satu. Dan ia pun siap untuk bertanding di all england, dan
turnamen lainnya, untuk mengukirkan berbagai prestasi di tingkat
Internasional.
Catatan prestasi Maria sebagai hasil dari kerja kerasnya selama ini:
Medali Perunggu Olimpiade Beijing 2008
Juara II Djarum Indonesia Open SS 2008
Juara II Uber Cup Jakarta Mei 2008
Perempat Finalis Jerman Open Februari 2008
Medali Emas Sea Games Perseorangan Desember 2007
Medali Emas Sea Games Tim Putri Desember 2007
Perempat Finalis Taiwan GP 2007
8 Besar Indonesia Open 2007
Juara II Jerman Open 2006
Juara I Singapore Satellite 2006
Juara I Surabaya Satellite 2006
Maria pun telah menargetkan, agar medali emas olimpiade London 2012 dapat diraihnya.
Wah, Good Luck ya.
"Untuk mencapai keberhasilan, diperlukan kerja keras dan harus punya target."
Maria adalah sosok yang selalu berusaha dan berdoa, bertanggung jawab, dan disiplin.
SUmber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5531330
Tuesday, May 14, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment